Fuji

Thursday, March 8, 2012

The Princess and the Hunter

Once upon a time in the jungle. There is a princess living with her dad. She is a beautiful girl, smart. She is 17 years old.
She is very poor and she wants to be rich. But she don't know how she can be rich. She always try to reach her dreams. Her father also help her.
One day, her father's sick. She is confused, so she try to get out from the jungle for searching some medicine. While she search the medicine, she met a hunter. The hunter tried to help the princess. Then the hunter get to home of princess.

When he got to princess house. He met the princess dad, he found an old man. And he knew him, really knew him...
In fact the princess and the hunter are twins. Suddenly her dad sees something which are the same from them. And then the real thing which are the same are their big moles in their chin.
The old man is surprised. "I never and I remember my son and my daughter have moles in their cheek, not chin. What happened?".
The old man asks the hunter. "where do you come from?"
and the hunter answer "I'm from Sukamaju Village".
The old man was surprised again, because his daughter was born in same village. The princess thought that she was not from the village, but she was born in jungle. Her father was confused with the hunter, actually who is the hunter for real???

ooh... now the old man remember..
the hunter was not his child, but the princess heard something from jungle, so she ran to jungle, what was the sound ? it was a horse
the horse of hunter, in fact a horse was hungry..
oh,, the hunter forgot to feed horse. "well, I don't care!".
suddenly the horse dies, "well, it's OK, I don't need horse".
so the hunter doesn't know how he could go to his house.
so he ask to the princess to pick his up on foot. because the princess very kind to him. time by time the hunter falls in love with her. and the best thing that he can do is.. they are married. so her father agrees about their marriage.

Then in their wedding party, a man comes. The princess thinks he is her twins! and then she talked to her father. Finally her father meets his son, and the princess meets her twins.
And then they live happly ever after.

Macaroni Schotel Recipe

Macaroni Schotel, siapa yang tidak suka dengan makanan Italia ini? dengan aroma keju dan makaroni yang menggoda membuat perut semakin lapar..
Okay, check it out!

INGREDIENTS : [Untuk 4 Porsi] [Waktu Memasak: 50 Menit]

150 gr macaroni elbows
200 gr kornet
1 buah bawang bombay, cincang
2 siung bawang putih, cincang
2 sdm tepung terigu
400 ml susu cair
3 butir telur, kocok lepas
100 gram keju, diparut
1 sdt pala bubuk
1/2 sdt merica bubuk
garam secukupnya
butter secukupnya buat numis
keju parut untuk taburan di atasnya nanti


Cara Mbuat:

1. Rebus makaroni dalam air mendidih sampai lunak. Beri sedikit garam dan mentega supaya tidak lengket di dasar panci. Setelah itu tiriskan. Kasih sedikit mentega lagi supaya makaroni tidak lengket
2. Panaskan butter dalam wajan, tumis bawang bombai dan bawang putih sampai layu, masukan tepung terigu aduk rata.
3. Masukan susu aduk supaya terigu tidak menggumpal.
4. Masukan makaroni, kornet, dan keju parut, aduk sampai rata.
5. Masukan garam, merica dan pala, aduk rata kemudian angkat.
6. Masukan telur kocok, aduk lagi hingga rata. Kalau sudah rata, tuang adonan makaroni ke dalam loyang yang sudah diolesi butter dan ditaburi dengan tepung panir. Kemudian taburi atasnya dengan keju parut
7. Panggang dalam oven suhu 190 derajat celcius selama 30 menit atau sampai matang
8. Kalau sudah matang, keluarkan dari oven, biarkan macaroni di suatu tempat dalam suhu ruangan biar panasnya mereda.
Kalau mau variasi, bisa kurangin kornetnya, tambahkan sosis yang dipotong kecil-kecil


And Voila! This is it! Homemade Macaroni Schootel
The way to cooks it's easy :)

Monday, March 5, 2012

Matematika

Menurut catatan sejarah, Matematika telah lahir sejak 3000 SM yaitu pada saat Bangsa Mesir Kuno dan Babilonia mulai menggunakan aritmetika, aljabar, dan geometri untuk keperluan astronomi, bangunan dan konstruksi, perpajakan dan urusan keuangan lainnya. Sistematisasi matematika menjadi suatu ilmu, baru terjadi pada zaman Yunani Kuno yakni antara tahun 600 dan 300 SM. Sejak saat itu matematika mulai berkembang luas, interaksi matematika dengan bidang lain seperti sains dan teknologi semakin nampak. Kini, matematika telah menjadi alat penting dalam berbagai hal. Hampir setiap bidang ilmu dan teknologi memakai matematika. Dalam realita yang demikian, penguasaan terhadap matematika menjadi syarat perlu agar dapat mempertahankan eksistensi di era perkembangan ilmu dan teknologi sekarang ini.


Matematika adalah ilmu realitas, dalam artian ilmu yang bermula dari kehidupan nyata. Selayaknya pembelajarannya dimulai dari sesuatu yang nyata, dari ilustrasi yang dekat dan mampu dijangkau siswa, dan kemudian disederhanakan dalam formulasi matematis. Mengajarkan matematika bukan sekedar menyampaikan aturan-aturan, definisi-definisi, ataupun rumus-rumus yang sudah jadi. Konsep matematika seharusnya disampaikan bermula pada kondisi atau permasalahan nyata. Berikut tahapan pengajaran yang dapat dilakukan:

  1. Siswa dibawa untuk mengamati dan memahami persoalan terlebih dahulu. Selanjutnya perkenalkan beberapa definisi penting yang harus dipahami agar siswa memiliki bekal untuk memahami fenomena-fenomena yang mereka temukan di lapangan.
  2. Ajak siswa untuk melakukan eksplorasi, mencoba-coba, dan biarkan mereka melihat apa yang terjadi. Di sini akan ada proses memunculkan ide-ide kreatif yang boleh jadi diluar dugaan guru. Di sinilah ruang kreatifitas terbentuk. Siswa akan lebih menikmati proses pembelajaran yang dilakukan.
  3. Biarkan siswa membuat hipotesis/dugaan atas apa yang mereka lakukan.
  4. Guru bersama siswa membahas kegiatan yang dilakukan. Berikan kesempatan pada para siswa untuk mempresentasikan hasil pengamatan mereka. Kemudian baru dilakukan proses verifikasi, meluruskan apa yang sudah dilakukan sehingga muncul formula atau rumus atau model yang dapat dijadikan rujukan ketika siswa menemukan persoalan serupa.
  5. Satu hal yang juga tidak kalah penting adalah proses mengapresiasi. Seandainya hipotesis yang diambil oleh siswa ternyata kurang tepat maka guru hendaknya tetap memberi apresiasi. Dengan seperti itu, maka siswa akan tetap terpacu motivasinya.


Sebagai contoh dalam pembelajaran mengenai perbandingan trigonometri . Pembelajaran trigonometri sering kali ditakuti karena yang nampak ke permukaan adalah simbol-simbol dan rumus-rumus yang abstrak. Adapun maknanya jarang diangkat dan dipahamkan kepada para siswa. Perbandingan trigonometri sesungguhnya berawal dari persoalan nyata. Berikut salah satu alternatif pengajaran yang dapat dilakukan:
  1. Guru terlebih dahulu menjelaskan definisi-definisi penting sebagai bekal bagi mereka untuk melakukan observasi dilapangan.
  2. Selanjutnya minta para siswa untuk mengukur tinggi benda-benda seperti tiang bendera, pohon, bangunan kelas, dan lain-lain. Biarkan mereka bereksplorasi menemukan caranya sendiri. Dari sisni tentu akan ada beragam cara yang diusulkan siswa agar dapat mengukur tinggi benda-benda tersebut. Dalam hal ini guru bertugas mengakomodir berbagai respon yang muncul, membimbing, dan mencoba mengarahkan para siswa agar tidak terlalu keluar dari wilayah yang dijadikan tujuan.
  3. Berikutnya guru dapat mengarahkan siswa untuk menerapkan perbandingan trigonometri dalam permasalahan tersebut. Misalnya akan diukur tinggi pohon P. Minta salah seorang siswa, katakanlah siswa A, berdiri dalam jarak tertentu terhadap benda yang ingin diukur ketinggiannya. Misalkan jaraknya x meter. Dengan bantuan klinometer dapat diketahui besarnya sudut yang dibentuk oleh siswa A dengan pohon P, katakanlah sudut yang dibentuk adalah ?. Dengan menggunakan aturan tangent, dengan mudah akan diperoleh tinggi pohon P. yakni:
    Tinggi pohon P = x tan(?)
  4. Ajak siswa membandingkan efektifitas dan tingkat kemudahan berbagai macam cara yang diperoleh melalui kegiatan tersebut. Dari sini akan diperoleh gambaran bahwa matematika khususnya perbandingan trigonometri dapat mempermudah menyelesaikan permasalahan yang ada.
  5. Kegiatan pembelajaran dapat diakhiri dengan meminta siswa menuliskan rangkaian kegiatan yang dilakukan hingga hasil akhir yang dicapai. Dengan ini, kemungkinan besar siswa dapat lebih memahami konsep perbandingan trigonometri.


Proses pembelajaran seperti ini, jika terus dilakukan dan dikembangkan dalam berbagai topik pembelajaran matematika, dimungkinkan akan menciptakan pembelajaran matematika yang lebih asyik dan menarik, sekaligus mengikis pencitraan buruk dan menakutkan yang melekat padanya.

Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Kelas

Kata sekolah itu berasal dari kata skhole, scolae, atau schola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Pada waktu senggang tersebut dahulunya para orang tua Yunani menitipkan anak-anaknya kepada orang yang dianggap pintar agar memperoleh pengetahuan dan pendidikan tentang filsafat, alam dan sejenis itu lainnya.

Mencoba melihat kondisi sekarang sekolah masih dianggap suatu aktifitas yang menyenangkan oleh sebagian siswa justru di luar jam pelajaran tetapi jika di dalam jam pelajaran adalah suatu aktifitas yang membebani. Belum ada penelitian yang khusus mengkaji tentang hal tersebut, tetapi sepanjang pengamatan penulis, jika para siswa berada di kelas mereka inginnya keluar kelas atau pulang, jika ada pengumuman pulang pagi, atau libur, mereka gembiranya tidak kepalang, bersorak sorai, seolah terlepas dari beban berat yang menghimpit.

Banyak orang mengatakan bahwa beban kurikulum kita terlalu padat, tidak lagi mencerminkan suara masyarakat. Peran sekolah cenderung hanya mengajar dan tidak lagi mendidik. Otak anak dijejali kurikulum yang belum tentu perlu. Menghargai NEM tinggi, nilai hafalan nama kecamatan, nama tokoh, tahun sejarah, dan hal-hal yang tak ada keperluannya buat bekal memecahkan masalah hidup yang di negara maju diangap hanya menambah sempit disket memori otak anak (Nadesul, 2002:4).

Penulis pernah membandingkan kurikulum Bahasa Inggris dengan guru Bahasa Inggris dari Yunani dan Norwegia. Mereka mengatakan bahwa kurikulum Bahasa Inggris Indonesia aneh. Apabila pembelajaran Bahasa Inggris itu meliputi empat keahlian membaca, menulis, mendengar, dan berbicara, mengapa dalam ujian justru tidak ada ujian mendengar dan berbicara? Lalu untuk apa prose s pembelajaran speaking dan listening selama ini?

Mengapa menjamur kursus-kursus Bahasa Inggris? Mengapa para siswa masih mencari lembaga lain di luar sekolah untuk belajar Bahasa Inggris khususnya speaking? Kalau begitu apa fungsi sekolah dan atau guru-guru Bahasa Inggris?

Apa kegunaan buku dan LKS tersebut apabila ternyata para siswa tidak mampu berbicara Bahasa Inggris? Mengapa kemampuan speaking para siswa lemah padahal mereka sudah minimal 4 tahun belajar Bahasa Inggris, sudah mempelajari buku paket dan LKS?

Apa dampak psikologis terhadap siswa apabila guru Bahasa Inggris menanyai mereka dalam Bahasa Inggris dan bagaimana dampaknya jika peran guru itu diganti oleh teman sekelas/sebaya dengan mereka? Apakah pendekatan tutor sebaya mampu memotivasi para siswa sehingga mereka mendapat pengalaman berbicara Bahasa Inggris? Apakah keterampilan emosional para siswa juga berkembang?

Tujuannya;1. Untuk memberikan suasana baru dan memunculkan imej baru kepada para siswa bahwa belajar Bahasa Inggris tidak harus selalu melalui metode konvensional, membuka buku paket, mengerjakan LKS, sehingga para siswa tidak merasa jenuh/bosan di kelas. 

2. Untuk memberikan suatu gambaran bagi para rekan sejawat, membuka wawasan bahwa mereka bisa menggunakan metode simulasi tematis selain metode yang ada untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris siswa. 

3. Sebagai alat bantu untuk memperlancar proses tanya jawab tentang tema tertentu dengan pendekatan teman sebagai tutor sebaya dengan demikian diharapkan terjadi pemahaman yang lebih baik atas tema yang dibawakan di kelas. 

4. Suapaya siswa berlatih untuk memiliki rasa percaya diri dengan mengurangi peran dominan guru, sehingga mereka dapat mengungkapan kemampuannya, berlatih speaking secara bebas dan leluasa.

5. Untuk melihat apakah ada perubahan kemampuan para siswa yang signifikan setelah dilakukan metode simulasi tematis baik itu dalam pemahaman, speaking maupun writing

Muatan kurikulum Bahasa Inggris yang terlalu padat, membahas banyak tema yang belum tentu dianggap para siswa bermanfaat dalam kehidupan mereka, dengan tidak dibarengi metode pembelajaran yang menyenangkan, membuat suasana pembelajaran atau suasana kelas dalam pandangan para siswa membosankan. Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya apresiasi siswa terhadap pelajaran Bahasa Inggris yang ujung-ujungnya kemampuan berbahasa Inggris tidak sebanding dengan jumlah anggaran yang dikeluarkan negara dan kerja keras para guru Bahasa Inggris maupun siswa itu sendiri. Oleh karena itu perlu dicari solusinya. Salah satu solusi adalah melalui penerapan metode pembelajaran.  

Metode simulasi tematis mampu membuat suasana kelas menjadi hidup dan menyenangkan, juga mendorong peningkatan kemampuan berbahasa inggris siswa yang cenderung lebih baik dalam bentuk pemahaman terhadap tema tertentu maupun dalam kemampuan speaking dan writing. 

Meskipun begitu ada pula kelemahan metode ini. Pertama, membuat kelas menjadi ramai sehingga kadang-kadang sulit membedakan apakah keramaian itu memberikan suatu proses pembelajaran atau tidak. Kedua, tidak bisa dipakai berulang-ulang secara terus menerus. Artinya, mungkin dalam satu tahun pelajaran hanya 4 - 5 kali penggunaan dalam kelas yang sama. Ketiga, memerlukan pengawasan yang lebih daripada proses pembelajaran biasa karena dalam situasi yang demikian ramai, para siswa sering lupa untuk terus menggunakan Bahasa Inggris dalam simulasi tersebut. 

Adapun keuntungannya, metode ini fleksibel, dapat digunakan untuk semua tema dan dapat dimulai dari tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar. Menurut Endang Adi, metode pembelajaran Bahasa Inggris melalui simulasi ini sifatnya nor formal sehingga penentuan materi pembelajaran bisa bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada kurikulum yang berlaku. (Adi, 2002:37). Penulis mencoba menyatukannya dengan kurikulum dan menyesuaikan dengan kemampuan siswa kelas 2 SMU. Kedua, mendorong siswa untuk secara otomatis berbicara Bahasa Inggris karena menuntut kelompok untuk membangun suasana pembelajaran Bahasa Inggris.