Fuji

Monday, March 5, 2012

Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Kelas

Kata sekolah itu berasal dari kata skhole, scolae, atau schola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Pada waktu senggang tersebut dahulunya para orang tua Yunani menitipkan anak-anaknya kepada orang yang dianggap pintar agar memperoleh pengetahuan dan pendidikan tentang filsafat, alam dan sejenis itu lainnya.

Mencoba melihat kondisi sekarang sekolah masih dianggap suatu aktifitas yang menyenangkan oleh sebagian siswa justru di luar jam pelajaran tetapi jika di dalam jam pelajaran adalah suatu aktifitas yang membebani. Belum ada penelitian yang khusus mengkaji tentang hal tersebut, tetapi sepanjang pengamatan penulis, jika para siswa berada di kelas mereka inginnya keluar kelas atau pulang, jika ada pengumuman pulang pagi, atau libur, mereka gembiranya tidak kepalang, bersorak sorai, seolah terlepas dari beban berat yang menghimpit.

Banyak orang mengatakan bahwa beban kurikulum kita terlalu padat, tidak lagi mencerminkan suara masyarakat. Peran sekolah cenderung hanya mengajar dan tidak lagi mendidik. Otak anak dijejali kurikulum yang belum tentu perlu. Menghargai NEM tinggi, nilai hafalan nama kecamatan, nama tokoh, tahun sejarah, dan hal-hal yang tak ada keperluannya buat bekal memecahkan masalah hidup yang di negara maju diangap hanya menambah sempit disket memori otak anak (Nadesul, 2002:4).

Penulis pernah membandingkan kurikulum Bahasa Inggris dengan guru Bahasa Inggris dari Yunani dan Norwegia. Mereka mengatakan bahwa kurikulum Bahasa Inggris Indonesia aneh. Apabila pembelajaran Bahasa Inggris itu meliputi empat keahlian membaca, menulis, mendengar, dan berbicara, mengapa dalam ujian justru tidak ada ujian mendengar dan berbicara? Lalu untuk apa prose s pembelajaran speaking dan listening selama ini?

Mengapa menjamur kursus-kursus Bahasa Inggris? Mengapa para siswa masih mencari lembaga lain di luar sekolah untuk belajar Bahasa Inggris khususnya speaking? Kalau begitu apa fungsi sekolah dan atau guru-guru Bahasa Inggris?

Apa kegunaan buku dan LKS tersebut apabila ternyata para siswa tidak mampu berbicara Bahasa Inggris? Mengapa kemampuan speaking para siswa lemah padahal mereka sudah minimal 4 tahun belajar Bahasa Inggris, sudah mempelajari buku paket dan LKS?

Apa dampak psikologis terhadap siswa apabila guru Bahasa Inggris menanyai mereka dalam Bahasa Inggris dan bagaimana dampaknya jika peran guru itu diganti oleh teman sekelas/sebaya dengan mereka? Apakah pendekatan tutor sebaya mampu memotivasi para siswa sehingga mereka mendapat pengalaman berbicara Bahasa Inggris? Apakah keterampilan emosional para siswa juga berkembang?

Tujuannya;1. Untuk memberikan suasana baru dan memunculkan imej baru kepada para siswa bahwa belajar Bahasa Inggris tidak harus selalu melalui metode konvensional, membuka buku paket, mengerjakan LKS, sehingga para siswa tidak merasa jenuh/bosan di kelas. 

2. Untuk memberikan suatu gambaran bagi para rekan sejawat, membuka wawasan bahwa mereka bisa menggunakan metode simulasi tematis selain metode yang ada untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris siswa. 

3. Sebagai alat bantu untuk memperlancar proses tanya jawab tentang tema tertentu dengan pendekatan teman sebagai tutor sebaya dengan demikian diharapkan terjadi pemahaman yang lebih baik atas tema yang dibawakan di kelas. 

4. Suapaya siswa berlatih untuk memiliki rasa percaya diri dengan mengurangi peran dominan guru, sehingga mereka dapat mengungkapan kemampuannya, berlatih speaking secara bebas dan leluasa.

5. Untuk melihat apakah ada perubahan kemampuan para siswa yang signifikan setelah dilakukan metode simulasi tematis baik itu dalam pemahaman, speaking maupun writing

Muatan kurikulum Bahasa Inggris yang terlalu padat, membahas banyak tema yang belum tentu dianggap para siswa bermanfaat dalam kehidupan mereka, dengan tidak dibarengi metode pembelajaran yang menyenangkan, membuat suasana pembelajaran atau suasana kelas dalam pandangan para siswa membosankan. Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya apresiasi siswa terhadap pelajaran Bahasa Inggris yang ujung-ujungnya kemampuan berbahasa Inggris tidak sebanding dengan jumlah anggaran yang dikeluarkan negara dan kerja keras para guru Bahasa Inggris maupun siswa itu sendiri. Oleh karena itu perlu dicari solusinya. Salah satu solusi adalah melalui penerapan metode pembelajaran.  

Metode simulasi tematis mampu membuat suasana kelas menjadi hidup dan menyenangkan, juga mendorong peningkatan kemampuan berbahasa inggris siswa yang cenderung lebih baik dalam bentuk pemahaman terhadap tema tertentu maupun dalam kemampuan speaking dan writing. 

Meskipun begitu ada pula kelemahan metode ini. Pertama, membuat kelas menjadi ramai sehingga kadang-kadang sulit membedakan apakah keramaian itu memberikan suatu proses pembelajaran atau tidak. Kedua, tidak bisa dipakai berulang-ulang secara terus menerus. Artinya, mungkin dalam satu tahun pelajaran hanya 4 - 5 kali penggunaan dalam kelas yang sama. Ketiga, memerlukan pengawasan yang lebih daripada proses pembelajaran biasa karena dalam situasi yang demikian ramai, para siswa sering lupa untuk terus menggunakan Bahasa Inggris dalam simulasi tersebut. 

Adapun keuntungannya, metode ini fleksibel, dapat digunakan untuk semua tema dan dapat dimulai dari tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar. Menurut Endang Adi, metode pembelajaran Bahasa Inggris melalui simulasi ini sifatnya nor formal sehingga penentuan materi pembelajaran bisa bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada kurikulum yang berlaku. (Adi, 2002:37). Penulis mencoba menyatukannya dengan kurikulum dan menyesuaikan dengan kemampuan siswa kelas 2 SMU. Kedua, mendorong siswa untuk secara otomatis berbicara Bahasa Inggris karena menuntut kelompok untuk membangun suasana pembelajaran Bahasa Inggris.